Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Kebijakan Penanggulangan Bencana

  Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif

Indonesia adalah negeri yang sarat dengan bencana alam. Tengoklah musibah datang silih berganti. Gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara 26 Desember 2004, gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006, lalu tsunami di pantai Selatan Jawa pada 17 Juli 2006. Kesemuanya adalah suatu momentum berharga bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Yang menunjukkan bahwa nyata betul bahwa negara ini begitu tidak berdaya menghadapi musibah tersebut. Bahwa, ternyata kita belum memiliki manajemen penanggulangan bencana yang baik.
Contoh paling nyata adalah penanganan bencana tsunami pantai selatan Jawa 17 Juli 2006. Tsunami pantai selatan telah menelan korban jiwa sekitar 531 jiwa dan 280 jiwa lainnya hilang. Kerusakan fisik yang terjadi luar biasa besarnya karena terpaan tsunami mengoyak daratan hingga 300 meter jauhnya.
Sebenarnya skala kerusakan dapat diminimalisir apabila negara Indonesia memiliki manajemen peringatan dini yang baik. Apabila kita cepat belajar dari tsunami Aceh-Sumut 2004. Karena Hawai Pacific Tsunami Warning Center dan Japan’s Meteorological Agency sebelumnya telah mengeluarkan peringatan (warning) akan kemungkinan terjadinya tsunami 15 menit setelah gempa terjadi. Dan, memang tsunami kemudian menyapu pantai selatan Jawa 45 menit setelah gempa terjadi tanpa sedikitpun ada peringatan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah setempat. Kalaupun pemerintah berkehendak memberikan peringatan, medianya-pun terbatas. Tak ada alarm ataupun sirine di pinggir pantai yang setiap saat dapat difungsikan (Grundy, 2006).
Maka, tak heran apabila mudah sekali timbul informasi menyesatkan pasca bencana. Bahwa tsunami akan kembali datang, ombak telah sampai pinggir pantai, dan sebagainya. Sehingga membuat masyarakat setempat kembali panik dan berlarian tak beraturan hingga kembali memakan korban jiwa.
Terlepas dari kenyataan bahwa bencana alam adalah bagian dari takdir Illahi, sehingga seringkali tak bisa dicegah, namun manusia memiliki kekuatan akal dan pengetahuan yang semestinya bisa dimaksimalkan untuk mereduksi atau meminimalisir bahaya (damages) bencana alam.
Dalam suatu lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) ada dua kegiatan besar yang dilakukan. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster response/emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat berupa disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation(mengurangi dampak bencana). Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction, sebagai perpaduan dari disaster mitigation dan disaster preparedness(Makki, 2006).
Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin timbul ketika bencana.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sebelum bencana dapat berupa pendidikan peningkatan kesadaran bencana (disaster awareness), latihan penanggulangan bencana (disaster drill), penyiapan teknologi tahan bencana (disaster-proof), membangun sistem sosial yang tanggap bencana, dan perumusan kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana (disaster management policies).
Kebijakan yang Memprihatinkan
Kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia bisa dibilang memprihatinkan. Apabila kebijakan tersebut harus dituangkan melalui Undang-Undang, maka kenyataannya sampai sekarang kita belum memiliki UU Penanggulangan Bencana ataupun kebijakan terpadu sejenis yang berkekuatan hukum untuk menangani bencana dan pengungsi (semacamdisaster management act).
Dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2005 – 2009 pemerintah dan DPR cenderung lebih memprioritaskan pengundang-undangan RUU bidang ekonomi (sebanyak 28 RUU) dan bidang politik (sebanyak 14 RUU). Rancangan Undang-Undang tentang Manajemen/ Penanganan Bencana tidak diprioritaskan dan tidak disebutkan sama sekali. Barulah ketika bencana tsunami dan gempa bumi Aceh/ Sumut tahun 2004 terjadi, desakan untuk lahirnya UU ini begitu mengemuka dan kini UU ini tengah dalam proses pembahasan yang entah kapan akan diundangkan.
Regulasi yang tersedia saat ini hanyalah Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Keppres No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun 2001, dan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001.
Di masa silam, pemerintah Indonesia pernah membentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA) dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1979. Pada tahun 1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana oleh ulah manusia (man-made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP, 2001). Selanjutnya, Keppres ini disempurnakan lagi dengan Keppres Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi.
Namun usia Keppres No. 106 tahun 1999 –pun tidak bertahan lama. Sebabnya antara lain pembubaran Departemen Sosial pada era tersebut yang menyebabkan Bakornas PBP kehilangan salah satu organnya. Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah kemudian menerbitkan Keppres No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris Bakornas PBP.
Strategi penanggulangan bencana berdasarkan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001 meliputi empat tahapan yaitu : (1) tahap penyelamatan; (2) tahap pemberdayaan; (3) tahap rekonsiliasi; dan (4) tahap penempatan. Sedangkan, kegiatan penanganan pengungsi meliputi kegiatan-kegiatan : (1) penyelamatan (2) pendataan (3) bantuan tanggap darurat; dan (4) pelibatan masyarakat/ LSM (Sekretariat Bakornas PBP, 2001).

0 komentar:

Posting Komentar